Senin, 29 April 2013

HUKUM BUNGA BANK


Bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa “interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned” bunga adalah tangguhan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Sedangkan kata riba sama dengan ziyadah, berarti bertumbuh, menambah atau berlebih. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara‟. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai “ usury” yang artinya “ the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest” sementara ulama fikih mendefinisikan riba dengan kelebihan harta dalam
suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya. Jadi terlihat jelas bahwa “ interest” dan “usury” pada hakekatnya adalah sama. Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba
qardh dan riba jahiliyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi
riba fadhl dan riba nasi’ah.
 
  1. Riba qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)
  2. Riba jahiliyah 
    Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
  3. Riba fadhl 
    Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.    
  4. Riba nasi’ah 
    Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

Al Qur‟an dan sunnah dua sumber pokok hukum Islam, melarang keras adanya bunga karena kezalimannya. Tetapi beberapa orang islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi tidak bertentangan dengan hukum Al Qur‟an karena hukum ini hanya mengacu pada riba yaitu pinjaman yang bukan untuk produksi di masa pra Islam. Pada masa itu orang tidak mengenal pinjaman produksi dan pengaruhnya pada perkembangan ekonomi. 
Dalam hal ini mereka yang mengajukan teori bunga tampaknya mengabaikan Al Qur‟an yang merupakan firman Allah terakhir sebagai pedoman manusia. Al Qur‟an adalah undang-undang segala zaman, dan ma‟rifat Tuhan yang terwujud padanya tidak dapat digantikan oleh praktek ekonomi bunga pada pinjaman produksi yang diketahui pada zaman ini, atau zaman lainnya. Sesungguhnya, perbedaan antara pinjaman produktif dan tidak produktif adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis. Menyebut riba dengan nama bunga tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun peraturan hukum
Islam. Di antara tanda keadilan adalah haramnya bermuamalah dengan riba. Al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa Allah dan Rosul-Nya memerangi pelaku-pelakunya. 
 
 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al–Baqarah : 275) 
                                                   
“hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (QS. Al-Baqarah : 278) 

 “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (QS. Al-baqarah : 279)

 Ayat ini membuktikan bahwa dasar pelarangan riba ialah terdapatnya unsur kezaliman pada kedua belah pihak. Maka dengan dihapuskannya riba, kezaliman itu hilang sebagai mana dinyatakan oleh ayat itu, “tidak dianiaya dan tidak menganiaya”.  
Hampir semua majelis fatwa ormas Islam berpengaruh di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, telah membahas masalah riba. kedua organisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad, yaitu majelis tarjih muhammadiyah dan lajnah bahsul masa‟il Nahdlatul Ulama. Keputusan kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkaitandengan riba dan membungakan uang adalah:
                                              
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah 

Majelis tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi atau keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), Dalam keputusan tersebut menyebutkan bahwa kebolehan bunga bank masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).

2. Lajnah Bahsul Masa‟il Nahdlatul Ulama
 
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini. 
  1. Haram, sebab termasuk utang yang di pungut rente. 
  2. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat. 
  3. Syubhat, (tidak tentu halal haramnya), sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
 
Dalam konsep perbankan syariah, konsep bunga mendapat kritikan keras. Bunga dipandang tidak adil, mengingat bunga menghilangkan keterkaitan antara untung rugi dengan resiko.  Dalam konsep konvensional, bank harus menanggung keuntungan nasabah penyimpan apapun yang terjadi dengan
kinerja usahanya. Resiko kegagalan usaha yang menyebabkan bank merugi misalnya, tidak dapat dijadikan rasio untuk tidak membayar bunga simpanan sebagaimana dijanjikan sebelumnya dan sebaliknya, nasabah debitur dengan kebutuhan apapun yang telah difasilitasi dengan kredit harus tetap membayar kewajiban bunga kepada bank, tanpa dapat mengemukakan alasan apapun
berkenaan dengan resiko untung rugi bisnisnya.
Bila bunga merupakan model manfaat yang tidak diperkenankan secara syariah, maka manfaat apakah yang bisa diambil para pihak dalam transaksi perbankan. Memang tidak ada peraturan yang sekaligus mengatur mengenai penghapusan bunga, melainkan telah memberi tempat tumbuhnya alternatif selain bunga. Dimana dalam ketentuan pasal 1 butir 25 huruf (a) UU No. 21 Tahun 2008 secara eksplisit dinyatakan adanya frasa “ imbalan atau bagi hasil” sebagai manfaat yang bisa diambil bank dari skema pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dari pasal 1 tersebut, maka pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan transaksi sewa-
menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk  mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 
                                                
    Di dalam PBI No.7/ 4/PBI/2005 pasal 2 ayat (3) juga menyatakan bahwa bukan saja sistem bunga yang tidak boleh ada dalam transaksi syariah, melainkan juga transaksi yang mengandung hal-hal berikut ini: 
  1. Gharar, yaitu transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan.
  2. Maysir, yaitu transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang tinggi.
  3. Riba, yaitu transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam  secara batil atau bertentangan dengan ajaran Islam.
  4. Zalim, yaitu tindakan atau perbuatan yang menyebabkan kerugian. 
  5. Risywah, yaitu tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi.
  6. Barang haram dan maksiat, yaitu barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam.  Fatwa  Majelis Ulama Indonesia No.1 Tahun 2004 tentang bunga menyatakan bahwa praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasullullah SAW, yakni riba nasi‟ah. dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                


DAFTAR PUSTAKA

Karnaen Perwaatmadja, “Apakah Bunga sama dengan Riba?”, Kertas Kerja Seminar Ekonomi Islam, Jakarta : LPPBS, 1997
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2002
Muhammad Syafe‟i Antonio , Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Cetakan ke-4, Gema Insani Press: Jakarta, 2001
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, PT. Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1993
Yusuf Qordhowi. Norma dan Etika Ekonomi Islam, translate Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Cetakan ke-1, Gema Insani Press: Jakarta. 1997
Dawam Raharjo, Islam Dan Transformasi Sosial-Ekonomi ,Jakarta, Lembaga Study Agama Dan Filsafat, 1999
Muhammad Syafe‟i Antonio , Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Cetakan ke-4, Gema Insani Press: Jakarta, 2001
 Rifyal Ka‟bah, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999                                                                               
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009
Muhammad  Nadratuzzaman Hosen, Perbankan Syari’ah, Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syari‟ah, 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar