Selasa, 30 April 2013

bersyukur itu nikmat


Allah SWT berfirman dalam QS. Adz-Dzariyyat (51): 21 “dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tiada memperhatikan?”

Coba kita sisihkan waktu sejenak untuk bersyukur atas hal-hal baik dalam hidup anda. Renungkan tentang apa yang telah kita capai, orang-orang yang selama ini menyayangi dan memperhatikan kita, pengalaman yang telah kita dapatkan, keahlian dan minat yang kita miliki, apa yang kita yakini, dan hal-hal terindah yang telah terjadi dalam hidup kita.

Seringkali kita menginginkan kehidupan yang sempurna tanpa memahami bahwa kita perlu untuk merubah diri sendiri, membuat apa yang kita miliki lebih bernilai dan berguna menjadi bekal untuk menjalani perantauan yang panjang dalam perjalanan menuju kampung abadi nanti.


Jika kamu merasa pekerjaan anda sangatlah berat, bagaimana dengan dia??





Bila Anda merasa gaji anda sangat sedikit, bagaimana dengan anak yg malang ini??

 



Jika Kamu merasa belajar adalah sebuah beban, contohlah semangat dia..





Jika kamu sempat merasa putus asa, ingatlah orang ini!

 



Pantaskah kita mengeluh tentang makanan disaat ia sedang membayangkan makan happy meal??





Jika Kamu merasa hidup Kamu sangat menderita, apakah Kamu juga merasakan penderitaan seperti orang ini??





Jika Kamu merasa hidup Kamu tidak adil, bagaimana dengan dia??





Di saat kita kecil dimanja dan di sayang, manjakah mereka??





Tidakah merasa bersalah kita masih selalu tidak mendengarkan bahkan melawan ibu kita?




Pahamkah kita dengan potensi yang kita miliki? Apakah kita sudah membuka bungkusan potensi yang Allah hadiahkan khusus untuk kita dan memolesnya untuk kehidupan yang lebih baik dan bermanfaat? ataukah mungkin sebaliknya untuk kehidupan yang lebih buruk dan mudharat?

Terkadang kesadaran akan potensi diri sering terlambat muncul sementara usia serta kondisi sudah tdk sesuai dan tidak memadai lagi. Untuk unjuk kemampuan hingga diakui prestasinya hingga dihargai terkadang butuh waktu sebentar, tetapi persiapan untuk itu bisa sangat lama.

Bagaimana mungkin kita mendapatkan hal-hal yang lebih besar bila kita tidak mensyukuri atas yang kita telah miliki sekarang? Semuanya hanya bisa dimulai dengan apa yang kita telah miliki sekarang dan mensyukurinya... coba tengok diri kita, lihat keluarga kita, lihat tetangga kita, lihat teman-teman kita, lihat saudara-saudara kita apakah mereka menyayangi kita dan coba kita lihat lebih jauh lagi bagaimana kebesaranNya dan kekuasaanNya....

Allah berfirman dalam QS Al-Baqarah: 152 “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku”. Dan dalam QS Az-Zumar: 66, “Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur”.

Esensi syukur ada pada amaliah perbuatan (tindakan nyata) sehari-hari. Bentuk implementasi dari rasa syukur banyak macamnya bisa ucapan lisan yang bermanfaat seperti berkata hanya yang baik dan benar, zikir, do'a dan da'wah dan ucapan hati seperti iman kepada Allah, malaikat, kitab, rasulnya dan qada dan qadar dilengkapi dengan amaliah perbuatan seperti shalat, puasa, zakat dan haji bila mampu serta segala kebaikan yang dilakukan karena Allah ataupun amaliah hati seperti sabar, ikhlas dan tawakal adalah implementasi syukur.

Sekarang adalah bagaimana kita memahami dan mengembangkan potensi yang kita miliki dan meyakini yang Allah telah anugerahkan pada kita, dengan mengamalkannya sehingga tidak hanya bermanfaat untuk kita tetapi juga buat orang lain. Jika segala karunia Allah SWT yang terbentang luas dimanfaatkan dengan baik untuk kebaikan bersama dengan senantiasa mengacu kepada aturan Allah SWT, Sang Khalik, maka tidak mustahil, Allah SWT akan menurunkan rahmat dan kebaikanNya tidak hanya di hari akhir nanti tetapi juga langsung kita terima tunai di dunia ini.

Ya Allah ampunilah kami mahluk yang jarang bersyukur.....

 oleh:
  http://www.facebook.com/pages/Indah-NYA-Ayat-Ayat-Al-Quran/154629551225834

PRODUK-PRODUK BANK SYARI’AH

         Pada sistem operasi  bank syari‟ah, pemilik dana menanamkan uangnya di bank tidak dengan motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil. Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan, dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai dengan kesepakatan. 

        Secara garis besar, pengembangan produk bank syari‟ah dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1.  Produk Penghimpunan Dana 
2.  Produk Penyaluran Dana 
3. Produk Jasa  
1.    Produk Penghimpunan Dana
a.    Wadiah 
Al-Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. Secara umum wadiah terdiri dari dua jenis, yaitu : 
1)   Yad al amanah, yang diterapkan pada produk simpanan yang tidak sering ditarik atau dipakai, seperti safedeposit box. 
2)   Yad dhamanah, ditetapkan pada rekening giro. 
b.    Al Musyarakah 
Al Musyarakah adalah akad kerjasama  antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Al musyarakah terdiri dari dua jenis, yaitu : 
1)   Musyarakah kepemilikan, tercipta  karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan  suatu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata, dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut. 
2)   Musyarakah akad, tercipta dengan  cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah dan sepakat untuk berbagi keuntungan ataupun kerugian. 

Aplikasi Al Musyarakah dalam perbankan syari‟ah berupa :  Pembiayaan proyek, Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut. Setelah proyek selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank. 
c.    Al Mudharabah 
Al Mudharabah adalah akad kerjasama  usaha antara dua pihak dimana pihak pertama ( shahibul maal ) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang tertuang dalam kontrak , sedangkan apabila menderita kerugian ditanggung oleh pemilik modal sepanjang kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kelalaian pengelola. Seandainya kerugian tersebut diakibatkan oleh kelalaian atau kecurangan pengelola, maka pengelola  harus bertanggungjawab atas kerugian tersebut. 
Jenis-jenis mudharabah yaitu : 
Mudharabah Muthlaqah 
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib (pengelola) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Mudharabah Muqayyadah 
Adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal dan mudharib yang dibatasi dengan jenis usaha, waktu, dan tempat usaha.
 
Aplikasi mudharabah dalam perbankan syari‟ah meliputi : 
Pada sisi penghimpunan dana, mudharabah diterapkan untuk : 
1)   Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan
khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, dan sebagainya.
2)   Deposito biasa, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu. 

Pada sisi pembiayaan, mudharabah diterapkan untuk Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja untuk perdagangan dan jasa. Investasi khusus, yang disebut juga mudharabah muqayyah, dimana sumber dana khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal. 
2.    Produk Penyaluran Dana 
 
Jual Beli 
Bai’al Murabahah 
Bai’al Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam Bai’al Murabahah penjual harus memberitahukan harga produk yang ia  beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai imbalannya. Bai’al murabahah diterapkan pada pembiayaan untuk pembelian barang-barang inventory, baik produksi
maupun konsumsi. Dalam hal ini bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Bank dan nasabah harus menyepakati harga pokok, keuntungan, dan jangka waktu, kemudian bank membelikan barang yang dipesan dan  diberikan kepada nasabah. Nasabah kemudian mengangsurnya sesuai harga dan jangka waktu yang disepakati. 

Bai’ as Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Saat barang diserahkan kepada bank oleh produsen (pabrik/toko) maka bank akan menjualnya kepada nasabah secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah yang ditambah keuntungan. Bila bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Bila bank menjual secara cicilan, maka bank dan nasabah harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad.

Bai’al Istishna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang kemudian berusaha untuk membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati melalui orang lain dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat
atas harga dan sistem pembayarannya.
3.    Produk Jasa 
Disamping produk-produk pembiayaan, bank syari‟ah juga mempunyai produk-produk jasa yang berdasarkan akad syari‟ah, yaitu : 
a.    Wakalah 
Prinsip perwakilan yang diterapkan dalam bank syari‟ah dimana bank sebagai wakil dan nasabah sebagai pemberi mandat (muwakil). Prinsip ini diterapkan untuk pengiriman uang atau  transfer, penagihan, dan  letter of credit (L/C). Sebagai imbalan bank mendapatkan fee atas jasanya terhadap nasabah. 
b.    Kafalah 
Prinsip peminjaman dimana bank bertindak sebagai peminjam (kafil) sedangkan nasabah sebagai pihak yang di pinjami (makfulah). Sebagai imbalan bank mendapatkan bayaran atas jasanya terhadap nasabah. Aplikasi dalam perbankan biasanya digunakan untuk membuat garansi suatu proyek  (performance bonds), partisipasi dalam tender  (tender bonds), atau pembayaran lebih dulu  (advance payment bonds). 
c.    Hawalah 
Prinsip pengalihan utang, dimana bank bertindak sebagai penerima pengalihan piutang (muhal’alaih) dan nasabah bertindak sebagai pengalih piutang (muhil).30 Sebagai imbalan bank memperoleh upah pengalihan dari nasabah. Aplikasi dalam perbankan, hawalah diterapkan dalam fasilitas tambahan kepada nasabah pembiayaan yang ingin menjual produknya kepada pembeli tersebut dalam bentuk giro mundur (post dated check).
d.   Rahn 
Ar-Rahn terbagi menjadi dua yaitu : 
1)      Sebagai jaminan pembiayaan, bank menyertai pembiayaan kepada nasabah yang dimungkinkan diambil jaminan seperti Bai’al Murabahah dan Bai’as Salam. Dalam hal ini bank tidak menahan jaminan secara fisik, tetapi hanya surat-suratnya saja.
2)      Sebagai produk, bank dapat menerima jaminan dan menahannya, misalnya dalam bentuk emas dan barang kecil yang bernilai lainnya untuk pinjaman yang diberikan dalam jangka pendek. 
e.    Qardh 
Diterapkan untuk pinjaman kepada nasabah yang mengelola usaha sangat kecil. Untuk pembiayaan ini dananya diambilkan dari dana sosial seperti zakat, infaq, dan sadaqoh. Jika nasabah mengalami musibah dan tidak dapat mengembalikan, maka bank dapat membebaskannya. 



DAFTAR PUSTAKA
Heri Sudarsono, Bank Dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Yogyakarta, Ekonisia, 2003
Muhammad Syafe‟i Antonio , Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Cetakan ke-4, Gema Insani Press: Jakarta, 2001.


Senin, 29 April 2013

HUKUM BUNGA BANK


Bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa “interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned” bunga adalah tangguhan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Sedangkan kata riba sama dengan ziyadah, berarti bertumbuh, menambah atau berlebih. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara‟. Riba sering diterjemahkan orang dalam bahasa Inggris sebagai “ usury” yang artinya “ the act of lending money at an exorbitant or illegal rate of interest” sementara ulama fikih mendefinisikan riba dengan kelebihan harta dalam
suatu muamalah dengan tidak ada imbalan atau gantinya. Jadi terlihat jelas bahwa “ interest” dan “usury” pada hakekatnya adalah sama. Secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang-piutang dan riba jual beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba
qardh dan riba jahiliyah. Adapun kelompok kedua, riba jual beli, terbagi menjadi
riba fadhl dan riba nasi’ah.
 
  1. Riba qardh Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)
  2. Riba jahiliyah 
    Utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
  3. Riba fadhl 
    Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.    
  4. Riba nasi’ah 
    Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.

Al Qur‟an dan sunnah dua sumber pokok hukum Islam, melarang keras adanya bunga karena kezalimannya. Tetapi beberapa orang islam terpelajar yang silau oleh pesona lahiriah peradaban Eropa mengatakan bahwa yang dilarang Islam adalah riba bukan bunga. Mereka berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan pada pinjaman investasi dalam kegiatan produksi tidak bertentangan dengan hukum Al Qur‟an karena hukum ini hanya mengacu pada riba yaitu pinjaman yang bukan untuk produksi di masa pra Islam. Pada masa itu orang tidak mengenal pinjaman produksi dan pengaruhnya pada perkembangan ekonomi. 
Dalam hal ini mereka yang mengajukan teori bunga tampaknya mengabaikan Al Qur‟an yang merupakan firman Allah terakhir sebagai pedoman manusia. Al Qur‟an adalah undang-undang segala zaman, dan ma‟rifat Tuhan yang terwujud padanya tidak dapat digantikan oleh praktek ekonomi bunga pada pinjaman produksi yang diketahui pada zaman ini, atau zaman lainnya. Sesungguhnya, perbedaan antara pinjaman produktif dan tidak produktif adalah perbedaan tingkat, bukan perbedaan jenis. Menyebut riba dengan nama bunga tidak akan mengubah sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang dipinjam, karena itu ia adalah riba baik dalam jiwa maupun peraturan hukum
Islam. Di antara tanda keadilan adalah haramnya bermuamalah dengan riba. Al-Qur‟an mengisyaratkan bahwa Allah dan Rosul-Nya memerangi pelaku-pelakunya. 
 
 “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al–Baqarah : 275) 
                                                   
“hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman (QS. Al-Baqarah : 278) 

 “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kamu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (QS. Al-baqarah : 279)

 Ayat ini membuktikan bahwa dasar pelarangan riba ialah terdapatnya unsur kezaliman pada kedua belah pihak. Maka dengan dihapuskannya riba, kezaliman itu hilang sebagai mana dinyatakan oleh ayat itu, “tidak dianiaya dan tidak menganiaya”.  
Hampir semua majelis fatwa ormas Islam berpengaruh di Indonesia, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, telah membahas masalah riba. kedua organisasi tersebut memiliki lembaga ijtihad, yaitu majelis tarjih muhammadiyah dan lajnah bahsul masa‟il Nahdlatul Ulama. Keputusan kedua lembaga ijtihad tersebut yang berkaitandengan riba dan membungakan uang adalah:
                                              
1. Majelis Tarjih Muhammadiyah 

Majelis tarjih telah mengambil keputusan mengenai hukum ekonomi atau keuangan di luar zakat, meliputi masalah perbankan (1968 dan 1972), Dalam keputusan tersebut menyebutkan bahwa kebolehan bunga bank masih tergolong musytabihat (dianggap meragukan).

2. Lajnah Bahsul Masa‟il Nahdlatul Ulama
 
Mengenai bank dan pembungaan uang, Lajnah memutuskan hukum bank dan hukum bunganya sama seperti hukum gadai. Terdapat tiga pendapat ulama sehubungan dengan masalah ini. 
  1. Haram, sebab termasuk utang yang di pungut rente. 
  2. Halal, sebab tidak ada syarat pada waktu akad, sedangkan adat yang berlaku tidak dapat begitu saja dijadikan syarat. 
  3. Syubhat, (tidak tentu halal haramnya), sebab para ahli hukum berselisih pendapat tentangnya.
 
Dalam konsep perbankan syariah, konsep bunga mendapat kritikan keras. Bunga dipandang tidak adil, mengingat bunga menghilangkan keterkaitan antara untung rugi dengan resiko.  Dalam konsep konvensional, bank harus menanggung keuntungan nasabah penyimpan apapun yang terjadi dengan
kinerja usahanya. Resiko kegagalan usaha yang menyebabkan bank merugi misalnya, tidak dapat dijadikan rasio untuk tidak membayar bunga simpanan sebagaimana dijanjikan sebelumnya dan sebaliknya, nasabah debitur dengan kebutuhan apapun yang telah difasilitasi dengan kredit harus tetap membayar kewajiban bunga kepada bank, tanpa dapat mengemukakan alasan apapun
berkenaan dengan resiko untung rugi bisnisnya.
Bila bunga merupakan model manfaat yang tidak diperkenankan secara syariah, maka manfaat apakah yang bisa diambil para pihak dalam transaksi perbankan. Memang tidak ada peraturan yang sekaligus mengatur mengenai penghapusan bunga, melainkan telah memberi tempat tumbuhnya alternatif selain bunga. Dimana dalam ketentuan pasal 1 butir 25 huruf (a) UU No. 21 Tahun 2008 secara eksplisit dinyatakan adanya frasa “ imbalan atau bagi hasil” sebagai manfaat yang bisa diambil bank dari skema pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dari pasal 1 tersebut, maka pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berupa transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’, transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan transaksi sewa-
menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk  mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. 
                                                
    Di dalam PBI No.7/ 4/PBI/2005 pasal 2 ayat (3) juga menyatakan bahwa bukan saja sistem bunga yang tidak boleh ada dalam transaksi syariah, melainkan juga transaksi yang mengandung hal-hal berikut ini: 
  1. Gharar, yaitu transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan.
  2. Maysir, yaitu transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-untungan atau spekulatif yang tinggi.
  3. Riba, yaitu transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam  secara batil atau bertentangan dengan ajaran Islam.
  4. Zalim, yaitu tindakan atau perbuatan yang menyebabkan kerugian. 
  5. Risywah, yaitu tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi.
  6. Barang haram dan maksiat, yaitu barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam.  Fatwa  Majelis Ulama Indonesia No.1 Tahun 2004 tentang bunga menyatakan bahwa praktek pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasullullah SAW, yakni riba nasi‟ah. dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram hukumnya.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                


DAFTAR PUSTAKA

Karnaen Perwaatmadja, “Apakah Bunga sama dengan Riba?”, Kertas Kerja Seminar Ekonomi Islam, Jakarta : LPPBS, 1997
Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2002
Muhammad Syafe‟i Antonio , Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Cetakan ke-4, Gema Insani Press: Jakarta, 2001
Muhammad Abdul Mannan, Ekonomi Islam: Teori dan Praktek, PT. Dana Bakti Wakaf, Yogyakarta, 1993
Yusuf Qordhowi. Norma dan Etika Ekonomi Islam, translate Zainal Arifin dan Dahlia Husin, Cetakan ke-1, Gema Insani Press: Jakarta. 1997
Dawam Raharjo, Islam Dan Transformasi Sosial-Ekonomi ,Jakarta, Lembaga Study Agama Dan Filsafat, 1999
Muhammad Syafe‟i Antonio , Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Cetakan ke-4, Gema Insani Press: Jakarta, 2001
 Rifyal Ka‟bah, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999                                                                               
Adrian Sutedi, Perbankan Syariah, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009
Muhammad  Nadratuzzaman Hosen, Perbankan Syari’ah, Jakarta: Pusat Komunikasi Ekonomi Syari‟ah, 2008

SEJARAH BANK SYARI'AH


Awal Kelahiran Sistem Perbankan Syari‟ah  

Secara umum, bank melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Perbankan telah ada sejak zaman Rasulullah Saw dimana dalam sejarah perekonomian umat Islam, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah Saw. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah.
Dengan demikian, fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah. 
Rasulullah Saw yang dikenal dengan julukan al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayidina Ali r.a. untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya. Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin Awwam r.a. memilih tidak menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubir menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni pertama, dengan
mengambil uang itu sebagai pinjaman, ia mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikannya secara utuh. Selain itu penggunaan cek sudah digunakan sejak perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman. Bahkan zaman
pemerintahan, Khalifah Umar bin Al-Khattab r.a. menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dan juga pemberian modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, muzara’ah, musaqah telah dikenal sejak awal di antara kaum Muhajirin dan Kaum Anshar. Maka dapat secara jelas bahwa pelaksanaan fungsi perbankan telah ada dan berkembang di
zaman Rasulullah Saw, meskipun tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan.
Penerapan sistem profit dan loss sharing yang tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvensional dan Islamic Rural Bank di desa Myt Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.10 Sejak eksperimen pertama pendirian bank Islam oleh Myt ghamr pada tahun 1960-an, bank-bank Islam mulai banyak berdiri, disamping itu keberadaannya juga didukung oleh kekayaan minyak di kawasan teluk. 
Perkembangan bank-bank Islam mulai meningkat tajam setelah awal berdirinya pada tahun 1960-an. Dari hanya satu bank pada awal tahun 1970-an, meningkat menjadi sembilan pada tahun 1980. Di antaranya adalah Bank Sosial Nasser (1971), Bank Pembangunan Islam (1975), Bank Islam Dubai
(1975), Bank Islam Faisal Mesir (1977), Bank Islam Faisal Sudan (1977), Lembaga keuangan Kuwait (1977), Bank Islam Bahrain (1980). Antara tahun 1981-1985, sekitar 24 Bank Islam dan lembaga keuangan lainnya telah didirikan di Qatar, Sudan, Bahrain, Malaysia, Bangladesh, Senegal, Guinea,
Denmark, Selandia Baru, Turki, Inggris, Yordania, Tunisia, dan Mauritania. Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Development Bank (IDB), yang bediri atas prakarsa dari sidang menteri luar negeri negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Pakistan (1970), Libiya (1973), dan Jeddah (1975). Dalam sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem keuangan berdasarkan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negeri Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada akhir periode 1970-an dan awal periode 1980-an, bank-bank syariah muncul di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki. 
Desember 1970, sidang menteri luar negeri negara-negara Organisasi Konferensi Islam di Karachi, Pakistan, menerima proposal studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (Internasional Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) yang diajukan oleh Mesir. Proposal tersebut intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan sistem bagi hasil keuntungan maupun kerugian. 
Berkembangnya bank-bank syari‟ah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syari‟ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawan Rahardjo, A. M. Saefuddin, M. Amien Azis, dan lain-lain.13 Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil – Salman, Bandung, dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta yang sempat tumbuh mengesankan. Kemudian gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi di tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur industri perbankan di Indonesia.14 Para ulama pada saat itu berusaha mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang bisa dijadikan dasar, kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0 %. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan diundangkannya UU No.7 / 1992 tentang perbankan, maka berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang merupakan bank umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Hasil rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan tersebut ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), kepada pemerintah dan kepada seluruh umat Islam.

Perkembangan Bank Syari‟ah di Indonesia  

Di Indonesia, keberadaan bank syari‟ah dirintis sejak berlakunya Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan. Undang-undang tersebut menggunakan istilah „bank bagi hasil‟ untuk menyebut bank yang berdasarkan prinsip syari‟ah. Sampai  dengan akhir tahun 1998, jumlah kantor bank
syari‟ah secara nasional di Indonesia adalah sebanyak 78 kantor, yang terdiri dari 1 kantor bank umum dan 77 kantor BPR. Dalam kurun waktu 1997 hingga saat ini lembaga perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Jumlah bank tumbuh dengan pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 UUS, dan 81 BPRS pada akhir Tahun 2001. Jumlah Kantor Cabang dari bank umum syariah dan UUS tumbuh dari 26 menjadi 51. Aset perbankan syariah juga tumbuh dengan pesat dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi Rp. 2.781 milyar pada tahun 2001. meskipun kontribusinya terhadap total asset perbankan nasional masih relatif kecil (penetrasi asset 0,26%), asset perbankan syariah mampu mencapai pertumbuhan 74 % pertahun selama periode 1998 – 2001. Dana pihak ketiga meningkat dengan cepat dari Rp. 392 milyar menjadi Rp. 1.806 milyar dan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga hanya turun sedikit 117 % pada tahun 1998 menjadi 113 % tahun 2001. 
Sampai tahun 2002, industri perbankan syariah memiliki 88 institusi (2 bank umum syariah, 5 bank umum konvensional yang memiliki cabang syariah, dan 81 BPRS) dengan jumlah jaringan kantor sebanyak 136 yang tersebar di 20 propinsi. Hingga akhir tahun 2005, terdapat 3 bank umum syari‟ah dan 16 unit usaha syari‟ah. Berdasarkan laporan tahunan BI 2009 (Desember 2009). secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 1998 hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada Desember 2009 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 31 unit yang terdiri atas 6 Bank Umum Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 139 unit pada periode yang sama. Total aset perbankan syariah per Oktober 2010 mencapai Rp86 trilyun. Kemudian secara kelembagaan, jumlah bank syariah juga mengalami peningkatan. Saat ini, sudah ada 11 Bank Umum Syariah, 23 Unit Usaha Syariah, 146 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dengan jaringan kantor mencapai 1.625 unit. Jaringan perbankan syariah saat ini juga telah menjangkau lebih dari 89 kabupaten atau kota di 33 provinsi.
                                              
Potensi dan prospek perbankan syari‟ah nampaknya sangat bagus untuk dikembangkan di Indonesia. Prospek yang baik ini setidaknya ditandai oleh lima hal. Pertama, jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan pasar potensial bagi pengembangan bank syari‟ah. Sampai saat ini, pangsa pasar yang besar itu belum tergarap secara signifikan. Kedua, perkembangan jumlah dan intensitas lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan tentang ekonomi Islam dan perbankan atau keuangan syari‟ah semakin pesat, baik di jenjang pendidikan S1, S2, S3, juga D3. Ketiga, bahwa fatwa MUI tentang keharuman bunga bank, bagaimanapun akan tetap berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syari‟ah. Pasca fatwa MUI tersebut, terjadi shifting dana masyarakat dari bank konvensional ke bank syari‟ah secara signifikan yang meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Menurut data bank Indonesia, dalam waktu satu bulan pasca fatwa MUI, dana pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari‟ah hampir Rp1 triliun. Fatwa ini semakin mendapat dukungan dari para sarjana ekonomi Islam. 
Keempat, masuknya lembaga-lembaga keuangan internasional ke dalam jasa usaha perbankan syari‟ah di Indonesia sesungguhnya merupakan indikator bahwa usaha perbankan syari‟ah memang prospektif dan dipercaya oleh para investor luar negeri. Potensi dana Timur Tengah sangat besar. Dana-dana yang selama ini ditempatkan di Amerika dan Eropa, pasca 11 september WTC, mulai ditarik oleh investor Arab untuk ditempatkan di Asia. Ketika harga minyak 32 dolar US per barel, Timur Tengah telah menjadi negara petrodollar, apalagi ketika harganya meningkat menjadi 70 dolar per barel, tentu dana itu semakin besar. Bila potensi ini berhasil ditarik oleh bank-bank syari‟ah, maka market share bank-bank syari‟ah akan semakin besar.




Daftar pustaka

Muhammad Syafi‟i Antonio , Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Cetakan ke-4, Gema Insani Press: Jakarta, 2001  
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008
Abdullah Saeed, Bank Islam Dan Bunga, Pustaka Pelajar, Yokyakarta, 2004
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Edisi Keenam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002
M. Amin. Azis, Mengembangkan Bank Islam Di Indonesia (Jakarta: Bangkit, 1992). 
Zainul Arifin, Memahami Bank Syari’ah: Lingkup, Peluang, Tantangan, Dan Prospek, Jakarta, Penerbit Alvabet, 1999 
H. M. Amin Azis, Mengembangkan Bank Islam Di Indonesia, Lampiran 3: Keputusan Loka Karya Bunga Bank Dan Perbankan Mui, Jakarta: Penerbit Bangkit, 1990
Budisantoso, Totok dan Triandaru, Sigit, bank dan lembaga keuangan lain, edisi 2, salemba empat, jakarta, 2006 
Muhammad  Iqbal Gifari, Prospek Perbankan Syari’ah Pasca Fatwa Mui, Artikel