Awal Kelahiran Sistem Perbankan Syari‟ah
Secara umum, bank melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Perbankan telah ada sejak zaman Rasulullah Saw dimana dalam sejarah perekonomian umat Islam, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak zaman Rasulullah Saw. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah.
Dengan demikian, fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dana telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah.
Rasulullah Saw yang dikenal dengan julukan al-Amin, dipercaya oleh masyarakat Makkah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayidina Ali r.a. untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya. Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah SAW, Zubair bin Awwam r.a. memilih tidak menerima titipan harta. Ia lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubir menimbulkan implikasi yang berbeda, yakni pertama, dengan
mengambil uang itu sebagai pinjaman, ia mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, ia berkewajiban untuk mengembalikannya secara utuh. Selain itu penggunaan cek sudah digunakan sejak perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman. Bahkan zaman
pemerintahan, Khalifah Umar bin Al-Khattab r.a. menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dan juga pemberian modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, muzara’ah, musaqah telah dikenal sejak awal di antara kaum Muhajirin dan Kaum Anshar. Maka dapat secara jelas bahwa pelaksanaan fungsi perbankan telah ada dan berkembang di
zaman Rasulullah Saw, meskipun tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan.
Penerapan sistem profit dan loss sharing yang tercatat di Pakistan dan Malaysia sekitar tahun 1940-an, yaitu adanya upaya mengelola dana jamaah haji secara nonkonvensional dan Islamic Rural Bank di desa Myt Ghamr pada tahun 1963 di Kairo, Mesir.10 Sejak eksperimen pertama pendirian bank Islam oleh Myt ghamr pada tahun 1960-an, bank-bank Islam mulai banyak berdiri, disamping itu keberadaannya juga didukung oleh kekayaan minyak di kawasan teluk.
Perkembangan bank-bank Islam mulai meningkat tajam setelah awal berdirinya pada tahun 1960-an. Dari hanya satu bank pada awal tahun 1970-an, meningkat menjadi sembilan pada tahun 1980. Di antaranya adalah Bank Sosial Nasser (1971), Bank Pembangunan Islam (1975), Bank Islam Dubai
(1975), Bank Islam Faisal Mesir (1977), Bank Islam Faisal Sudan (1977), Lembaga keuangan Kuwait (1977), Bank Islam Bahrain (1980). Antara tahun 1981-1985, sekitar 24 Bank Islam dan lembaga keuangan lainnya telah didirikan di Qatar, Sudan, Bahrain, Malaysia, Bangladesh, Senegal, Guinea,
Denmark, Selandia Baru, Turki, Inggris, Yordania, Tunisia, dan Mauritania. Perkembangan selanjutnya adalah berdirinya Islamic Development Bank (IDB), yang bediri atas prakarsa dari sidang menteri luar negeri negara-negara OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Pakistan (1970), Libiya (1973), dan Jeddah (1975). Dalam sidang tersebut diusulkan penghapusan sistem keuangan berdasarkan bunga dan menggantinya dengan sistem bagi hasil. Berdirinya IDB telah memotivasi banyak negeri Islam untuk mendirikan lembaga keuangan syariah. Pada akhir periode 1970-an dan awal periode 1980-an, bank-bank syariah muncul di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh, dan Turki.
Desember 1970, sidang menteri luar negeri negara-negara Organisasi Konferensi Islam di Karachi, Pakistan, menerima proposal studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (Internasional Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) yang diajukan oleh Mesir. Proposal tersebut intinya mengusulkan bahwa sistem keuangan berdasarkan bunga harus digantikan dengan sistem bagi hasil keuntungan maupun kerugian.
Berkembangnya bank-bank syari‟ah di negara-negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syari‟ah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawan Rahardjo, A. M. Saefuddin, M. Amien Azis, dan lain-lain.13 Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di antaranya adalah Baitut Tamwil – Salman, Bandung, dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta yang sempat tumbuh mengesankan. Kemudian gagasan mengenai bank syariah itu muncul lagi di tahun 1988, disaat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang mengatur industri perbankan di Indonesia.14 Para ulama pada saat itu berusaha mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang bisa dijadikan dasar, kecuali bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0 %. Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua Bogor tanggal 19-22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan diundangkannya UU No.7 / 1992 tentang perbankan, maka berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang merupakan bank umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Hasil rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan tersebut ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI), kepada pemerintah dan kepada seluruh umat Islam.
Perkembangan Bank Syari‟ah di Indonesia
Di Indonesia, keberadaan bank syari‟ah dirintis sejak berlakunya Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang perbankan. Undang-undang tersebut menggunakan istilah „bank bagi hasil‟ untuk menyebut bank yang berdasarkan prinsip syari‟ah. Sampai dengan akhir tahun 1998, jumlah kantor bank
syari‟ah secara nasional di Indonesia adalah sebanyak 78 kantor, yang terdiri dari 1 kantor bank umum dan 77 kantor BPR. Dalam kurun waktu 1997 hingga saat ini lembaga perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang signifikan. Jumlah bank tumbuh dengan pesat dari hanya satu bank umum syariah dan 78 BPRS pada tahun 1998 menjadi 2 bank umum syariah, 3 UUS, dan 81 BPRS pada akhir Tahun 2001. Jumlah Kantor Cabang dari bank umum syariah dan UUS tumbuh dari 26 menjadi 51. Aset perbankan syariah juga tumbuh dengan pesat dari Rp. 479 milyar pada tahun 1998 menjadi Rp. 2.781 milyar pada tahun 2001. meskipun kontribusinya terhadap total asset perbankan nasional masih relatif kecil (penetrasi asset 0,26%), asset perbankan syariah mampu mencapai pertumbuhan 74 % pertahun selama periode 1998 – 2001. Dana pihak ketiga meningkat dengan cepat dari Rp. 392 milyar menjadi Rp. 1.806 milyar dan rasio pembiayaan terhadap dana pihak ketiga hanya turun sedikit 117 % pada tahun 1998 menjadi 113 % tahun 2001.
Sampai tahun 2002, industri perbankan syariah memiliki 88 institusi (2 bank umum syariah, 5 bank umum konvensional yang memiliki cabang syariah, dan 81 BPRS) dengan jumlah jaringan kantor sebanyak 136 yang tersebar di 20 propinsi. Hingga akhir tahun 2005, terdapat 3 bank umum syari‟ah dan 16 unit usaha syari‟ah. Berdasarkan laporan tahunan BI 2009 (Desember 2009). secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 1998 hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada Desember 2009 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 31 unit yang terdiri atas 6 Bank Umum Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 139 unit pada periode yang sama. Total aset perbankan syariah per Oktober 2010 mencapai Rp86 trilyun. Kemudian secara kelembagaan, jumlah bank syariah juga mengalami peningkatan. Saat ini, sudah ada 11 Bank Umum Syariah, 23 Unit Usaha Syariah, 146 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dengan jaringan kantor mencapai 1.625 unit. Jaringan perbankan syariah saat ini juga telah menjangkau lebih dari 89 kabupaten atau kota di 33 provinsi.
Potensi dan prospek perbankan syari‟ah nampaknya sangat bagus untuk dikembangkan di Indonesia. Prospek yang baik ini setidaknya ditandai oleh lima hal. Pertama, jumlah penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam merupakan pasar potensial bagi pengembangan bank syari‟ah. Sampai saat ini, pangsa pasar yang besar itu belum tergarap secara signifikan. Kedua, perkembangan jumlah dan intensitas lembaga pendidikan tinggi yang mengajarkan tentang ekonomi Islam dan perbankan atau keuangan syari‟ah semakin pesat, baik di jenjang pendidikan S1, S2, S3, juga D3. Ketiga, bahwa fatwa MUI tentang keharuman bunga bank, bagaimanapun akan tetap berpengaruh terhadap pertumbuhan perbankan syari‟ah. Pasca fatwa MUI tersebut, terjadi shifting dana masyarakat dari bank konvensional ke bank syari‟ah secara signifikan yang meningkat dari bulan-bulan sebelumnya. Menurut data bank Indonesia, dalam waktu satu bulan pasca fatwa MUI, dana pihak ketiga yang masuk ke perbankan syari‟ah hampir Rp1 triliun. Fatwa ini semakin mendapat dukungan dari para sarjana ekonomi Islam.
Keempat, masuknya lembaga-lembaga keuangan internasional ke dalam jasa usaha perbankan syari‟ah di Indonesia sesungguhnya merupakan indikator bahwa usaha perbankan syari‟ah memang prospektif dan dipercaya oleh para investor luar negeri. Potensi dana Timur Tengah sangat besar. Dana-dana yang selama ini ditempatkan di Amerika dan Eropa, pasca 11 september WTC, mulai ditarik oleh investor Arab untuk ditempatkan di Asia. Ketika harga minyak 32 dolar US per barel, Timur Tengah telah menjadi negara petrodollar, apalagi ketika harganya meningkat menjadi 70 dolar per barel, tentu dana itu semakin besar. Bila potensi ini berhasil ditarik oleh bank-bank syari‟ah, maka market share bank-bank syari‟ah akan semakin besar.
Daftar pustaka
Muhammad Syafi‟i Antonio , Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Cetakan ke-4, Gema Insani Press: Jakarta, 2001
Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi
3, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008
Abdullah Saeed, Bank Islam Dan Bunga, Pustaka Pelajar,
Yokyakarta, 2004
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,
Edisi Keenam, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002
M. Amin. Azis, Mengembangkan Bank Islam Di Indonesia (Jakarta:
Bangkit, 1992).
Zainul Arifin, Memahami Bank Syari’ah: Lingkup,
Peluang, Tantangan, Dan Prospek, Jakarta, Penerbit Alvabet, 1999
H. M. Amin Azis, Mengembangkan Bank Islam Di Indonesia, Lampiran
3: Keputusan Loka Karya Bunga Bank Dan Perbankan Mui, Jakarta: Penerbit
Bangkit, 1990
Budisantoso, Totok dan Triandaru,
Sigit, bank dan lembaga keuangan lain, edisi 2, salemba empat, jakarta,
2006
Muhammad Iqbal Gifari, Prospek Perbankan Syari’ah Pasca Fatwa
Mui, Artikel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar